Judul: Rapijali 1: Mencari
Penulis: Dee Lestari
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Cetakan Pertama: Februari 2021
No ISBN: 978-602-291-772-4
Harga: 99 ribu
Merombak Planet Ping
Rapijali merupakan Judul Novel yang ditulis Dee Lestari. Novel ini menghadirkan sebuah wahana imajinasi yang menceritakan kisah anak kampung bernama Lovinka, dipanggil Ping, yang berbakat dalam bermusik. Cerita ini pernah ditulis Dee saat usia 17 tahun, dan merupakan cerita bersambung dengan “Planet Ping” sebagai judulnya. Dee, merombak “Planet Ping” tanpa segan, dengan menyisipkan setting waktu serta hal-hal yang berkembang di masyarakat. Berikut ringkasan Rapijali;
Ping telah merasa nyaman dengan dunianya di Batu Karas, Cijulang, Pangandaran, bersama kakek, seorang sahabat bernama Oding, dan dengan alat musik yang memenuhi rumahnya. Tapi, Ping tau ada kegelisahan tentang masa depannya. Kegelisahan itu, acap kali bergejolak di dalam dirinya. Ia tidak tahu hendak apa, masa depannya buram.
Namun setelah Kakeknya meninggal dalam permainan musik bersama band D’Brehoh di rumahnya, Ping mulai merasa dunianya telah retak. Apalagi, ketika ia mengetahui bahwa dirinya akan tinggal di Jakarta bersama orang tua asuh, lebih tepatnya dengan keluarga calon gubernur. Sejak saat itu, ia tidak lagi merasa dunianya retak, melainkan berbalik 180 derajat.
Di Jakarta, Ping melanjutkan sekolahnya di SMA Paradipa Bangsa (PB), sebuah sekolah yang (katanya) menjalankan program inklusi. PB, bukan tempat sekolah anak-anak orang kaya, 20 persen siswanya mendapat biaya lebih rendah dibanding siswa lain. Di sekolah ini, Ping bertemu dengan teman-temannya yang baru, Inggil, Rakai, Andre (Buto), dan Jemima, lalu mulai merintis band sekolah.
Pertama, mereka mewakili PB saat mengikuti lomba Wali Kota. Namun, mengundurkan diri dari perlombaan itu dan yang kedua, mereka mulai fokus terhadap perlombaan ‘Band Idola Indonesia’ yang diselenggarakan di TVRI. Dalam proses perlombaan (umum) yang kedua inilah nama Rapijali terbentuk. Rapijali, merupakan akronim dari nama anggota band; Rakai, Andre, Ping, Jemima, Lodeh, Inggil. Perlu diketahui, Lodeh adalah pengamen jalanan yang sengaja mereka rekrut karena kualitas vokal.
Mengandung Politik
Selain menceritakan kehidupan Ping, Dee Lesatari juga menambahkan intrik politik di dalam Rapijali. Orang tua asuh Ping, merupakan Wali Kota Jakarta yang sedang mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Gundala (Guntur dan Dahlan), paslon nomor urut 02 itu, dititah oleh Dahlia. Dahlia, adalah ahli strategi politik yang berada di kubu Gundala dan memiliki kedekatan dengan keluarga Guntur. Dan perlu diketahui, mengadopsi Ping juga merupakan salah satu strategi dari Dahlia, mengingat identitas Ping yang sebenarnya.
Ping adalah bom waktu sekaligus bagian dari masa lalu Guntur. Oleh karena itu, demi kemenangan dan menjaga stabilitas citra Guntur, Dahlia menyiasati hubungan antara Guntur dan Ping. Dahlia juga tidak ingin, kerja keras tim Gundala menjadi sia-sia karena kehadiran seorang Ping.
Namun, sebelum novel ini ditutup, Randy - seorang ahli strategi politik dari tim 01 dan juga teman kuliah Dahlia- mulai mendapatkan sedikit informasi yang dapat mengguncang kokohnya kuda-kuda tim 02. Ia mengetahui (meski belum semuanya) identitas Ping. Dan ada kemungkinan, di serial berikutnya, Randy akan mencari informasi sebanyak-banyaknya perihal Ping untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Menyulam Lagu
“Jauh ku berjalan, tinggalkan semua. Laut membentang, sungai bersilang, kampung halaman, orang-orang tersayang.”, “Lelahnya hatiku mencoba pahami alasanku di sini, di tempat yang asing, yang dingin, yang tak bersahabat . . . .”
Di dalam studio mini, di dalam rumah Rakai, teman sebayanya di SMA Paradipa Bangsa sekaligus drummer dari RAPIJALI, Ping berhasil menarik keluar lirik lagu yang telah bergumul di benaknya sejak pindah ke Jakarta. Kerinduan tampak jelas mengitari liriknya. Kerinduan akan kampung halaman, Cijulang, Batu Karas, Pangandaran, tempat Ping dilahirkan dan dibesarkan oleh Aki – Kakek – nya, Yuda Alexander. Memang bukan perkara mudah menghadapi kenangan, terlebih kenangan itu- disulam dari segala kisah yang menempel dengan tempat, yang sama sekali belum pernah ia tinggalkan selama 18 tahun.
Bermain musik bisa saja adalah membuka pintu yang menuju ke suatu tempat - meskipun cuma sebuah bayang - yang pernah menjadi bagian dari masa lalu. Tempat itu, selalu tentang masa lalu; bayangan dan pengetahuan pada masa lalu. Sebab yang kita bayangkan, kata Pablo Picasso, itu nyata. Dan mungkin satu paragraf berikut bisa menjelaskan maksud Pablo;
“lagu itu dibuka dengan frasa menyerupai himne yang mengalun khidmat di oktaf rendah. Cukup dibutuhkan delapan bar intro dan beberapa baris kata untuk akhirnya Ping tiba di rumah, tempatnya menjadi diri sendiri. Tak lama kemudian, Ping sudah tersesat ke dalam konstruksi lagu yang menghadirkan lanskap di benaknya. Lagu itu menggiringnya ke Rumah Aki, ke aliran sungai hijau yang bermuara di bentangan laut biru di batu karas.” (hal 285)
Demikian yang dibayangkan Ping saat bermain musik. Dan kenangan selalu bisa muncul kapan saja hanya dengan melakukan sebuah kebiasaan. Ping biasa bermain alat musik di kampungnya,dan ketika di Jakarta harus bermain musik lagi, ia akan terlempar ke suatu suasana yang pernah nyata pada masa lalu. Begitupun ketika ping membuat lagu, kenangan akan tersemat pada liriknya.
Ruang Berpikir; Mawas Diri dan Mencari Jawaban
Dee Lestari tidak ingin isi novelnya menguap. Maka, di beberapa bagian cerita, ia menyisipkan ruang-ruang kecil. Ruang untuk kita menjadi primitif sementara dan berpikir di dalamnya. Dan ketika keluar, mungkin kita telah mejadi pribadi yang baru, atau seseorang yang ‘telah’ atau‘tidak’ menemukan jawaban, dari pertanyaan yang disediakan Dee secara implisit di dalam cerita yang ditulisnya.
Dee, mengajak kita ke suasana dan tempat yang berbeda-beda; Panggung musik nasional dan lokal, tepi sungai Cijulang, kesepian, kesendirian, asing, penjara yang megah, politik yang memuakkan, masalah keluarga, pertemanan dan persahabatan, kematian, serta kemarahan. Sebuah siasat yang bagus, Dee menyediakan ranjau-ranjau yang mungkin menjerat pembaca untuk berpikir sejenak, namun tetap dengan porsi yang tidak berlebihan. Misalnya saja, ketika Ping berpikir bahwa Kakenya yang tergeletak tak bernyawa dianggapnya sebagai patung lilin yang dibuat oleh seniman-seniman asal Batu Karas, sementara kakeknya yang asli (yang diharapkannya masih hidup) entah pergi ke mana. Suasana ini, bisa saja memberi kita pesan moral bisa juga tidak, tergantung bagaimana kita menangkap ruang-ruang yang ditebar Dee.
Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan dari Novel yang ditulis Dee Lestari ini, tidak menyulitkan kita dengan diksi-diksi yang asing. Cerita yang mengalir. Cerita ederhana yang dibangun di dalamnya akan menjadi pas dibaca usia remaja; Metafora dengan kadar yang tidak berlebihan.
Buku 350 halaman ini juga tidak membosankan. Pembaca seperti daun di sungai yang banjir, mengalir ikut arus. Dan penyisipan pengetahuan tentang musik merupakan bagian yang menjadi kelebihan dari buku ini juga; sesuai dengan sampul buku (tuts-tuts piano).
Kekurangan, Rapijali terasa ditutup secara paksa oleh Dee Lestari. Mungkin karena Rapijali (Mencari) merupakan serial pertama, oleh karenanya ditutup secara paksa untuk lanjut ke serial berikutnya. Novel itu ditutup dengan kekecewaan Ardi, anak kandung dari orang tua asuh Ping.
Kekecewaan Ardi itu disulut oleh keingintahuannya terhadap Ping. Siapa Ping? Mengapa Ayahnya begitu dekat dengan Ping?
Ayah Ardi, merupakan tokoh masyarakat terpuji yang kehebatannya kerap membuatnya merasa kecil, tak lebih dari sekadar pembohong besar. Demikian baris terakhir dari novel; hadir setelah Ardi mengetahui identitas Ping yang sebenarnya.
Selain itu, Tokoh-tokoh yang semula diceritakan, Seperti Oding dan keluarga, juga D’Brehoht tiba-tiba hilang bagai ditelan keasyikan menulis masa SMA Ping. Mungkin, alasannya sama degan tutup paksa novel.
Penulis: Dhimas Alghifari, seorang pria bertubuh kurus, berambut gondrong, senang diam, dan berasal dari pihak yang bertahan.