LAPMINews, Metro - Bicara soal Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), tentu tidak bisa dipisahkan dengan ke-Islam-an dan ke-Indonesia-annya. Pasalnya, kedua hal tersebut yang melatarbelakangi berdirinya organisasi Mahasiswa Islam tertua di Indonesia ini.
Menurut kacamata organisasi yang didirikan Lafran Pane ini, bahkan ada 11 fase perjuangan HMI yang sampai saat ini diaminkan hampir seluruh kader HMI se-Indonesia. Terbukti dengan diwajibkannya bagi para kader HMI untuk memahami sejarah perjuangan HMI, demi menjaga semangat akademisnya.
Belajar dari sejarah, lalu mengambil nilai yang bermanfaat untuk dijadikan tolak ukur dalam mengahdapi problematika yang akan datang. Idealnya, sejarah bekerja seperti itu. Namun berbeda dari harapan, sejarah HMI malah membuat para kadernya terbawa hegemoni sejarah. Merasa pernah banyak berkontribusi untuk negara, dan menjadikan congkak para kader yang memahaminya. Akhirnya, kawan-kawan HMI hanya bisa menjual sejarah tanpa melakukan apa-apa.
Dari banyaknya faktor kemunduran HMI yang 44 ini, bukan tidak diketahui oleh para kader HMI itu sendiri. Tapi seolah semua tutup mata dan telinga, karena saat ini HMI tak lebih dari sekadar media untuk mencapai tujuan personal – bukan komunal.
Untuk saling mengingatkan, saya rasa tulisan semacam ini perlu dibaca dan dijadikan pengingat bagi kawan-kawan HMI. Bukan tanpa pertimbangan, mengkritisi bagian dari tradisi budaya intelektual HMI yang kata Agussalim sendiri telah “pudar.” Bukankah dalam ranah kata perkata saja, HMI senang membahasnya, apalagi sesuatu yang esensial.
Untuk ke depan, sebagai salah satu orang yang terlanjur mencintai organisasi yang sudah berumur senja ini, mengingatkan bahwa PR kita sangat banyak. Lima kualitas Insan Cita tidak hanya berhenti pada tataran retorika, akan tetapi tanam dalam jiwa demi melawan banyaknya indikator kemunduran HMI.
Diikuti itu, saya memiliki keyakinan bahwa tujuan mulia HMI sendiri akan tercapai ketika kita sudah selesai pada persoalan yang remeh temeh. Untuk itu, mulailah membaca buku, mengaktifkan daya kritis kembali serta menghidupkan trasdisi Intelektual HMI. Bukan mengambil jalan termudah, dengan menambah faktor kemunduran HMI. Karena sejatinya, merawat kebodohan lebih mudah dan nikmat, serta jalan yang ditempuh pun sangat mulus – dibandingkan dengan berjuang.
Akhir kata; Beriman, Berilmu, Beramal. Yakin Usaha Sampai.