Kita tak pernah lepas dari kenangan; ingatan yang melekat dalam kepala, termasuk kisah silam bersamanya. Begitulah kenangan. Menjadi salah satu pilihan kata yang tepat untuk menjelaskan sekumpulan ingatan, yang diikat dalam bingkai masa lalu dan merangkap menjadi fasilitator yang mendukung kita untuk memilah dan memilih jalan kehidupan.
Tentu kita tau, kata ‘kenangan’ sering digunakan oleh banyak orang termasuk kaum bucin. Tetapi belum semua tau, bahwa kenangan ada dan sebagai materi. Dalam penelitian yang pernah dilakukan di Ohio State University, melibatkan 9 perempuan usia 19 sampai 26 tahun, dengan Android dan tali yang diikat ke leher peserta untuk pengambilan foto. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui aktivitas bagian otak, Hippocamus yang menyimpan informasi tentang dimana dan kapan kenangan secara spesifik terjadi. Hasilnya, para peserta dapat menjelaskan kejadian inti dari foto-foto yang ada.
Sigmund Freud memaparkan bahwa ingatan akan tenggelam ketika kecil, dan ingatan yang cenderung mengarah ke rasa sakit, akan ditundukkan ke alam bawah sadar. Misalnya saja seperti; kita lupa berapa banyak salah menjawab soal ujian, lupa waktu, makan, bercinta, lupa berapa kali cocoklogi yang merugikan regenerasi, dan kesalahan-kesalahan kecil terhadap pasangan, hiyaa. Sedikit banyaknya, kita lupa. Ya, manusia makhluk lupa.
Tetapi, bagaimana bila manusia diciptakan tanpa lupa?
Sudah tentu, kita dapat belajar dari segala kesalahan yang berlalu. Sehingga setiap manusia lebih siap melangkah ke fase hidup lebih lanjut, dengan minim kegagalan atau setidaknya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Namun pada realitasnya, manusia lupa dan tidak semua pernah belajar dari kesalahan.
Bukan hanya itu, Freud juga sempat memaparkan, ketika ingatan tak pernah dimunculkan ke permukaan, maka akan tenggelam. Dari pernyataan Freud, timbul kejanggalan, ‘tak pernah dimunculkan’ adalah tindak kesengajaan untuk menyimpan. Contohnya; Sebuah keburukan, aib, atau kesalahan fatal yang tak pernah dimunculkan. Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa, manusia itu melupa dan bukan lupa.
Pasalnya setiap kali ingatan tentang sesuatu yang penting tiba-tiba hadir, yang pertama dilakukan adalah kegiatan menunda atau acuh. Ini sepenggal fakta dari beberapa yang tak disebutkan, yang mencederai fungsi memori jangka pendek (teori penyimpanan sensoris, Atkinson dan Shiffrin, 1968,1971). Yang berarti ‘lupa’ janji atau komitmen terutama dengan kekasih, bisa jadi atau sebenarnya ‘tidak ada’. Sebab lupa hanyalah bungkus dari kesengajaan tidak mengingat.
Padahal ingatan merupakan pembeda antara manusia dan makhluk lainnya. Tetapi kebanyakan dari kita memaksimalkan ingatan ketika sedang menghadapi ujian, entah di ranah pendidikan atau kehidupan. Contohnya saja kita baru mengingat Tuhan setelah dihantam habis-habisan oleh masalah atau ujian hidup. Yang menyedihkan lagi, ketika nyawa orang-orang terdekat berada di antara ada dan tiada kita baru mengingatnya.
Manusia adalah makhluk yang sengaja lupa. Terkesan seperti manusia kurang menghargai karunia paling keren dari Tuhan.
Betapa tidak, kita dapat bebas berjalan ke ruang-ruang masa lalu. Menemui teman, menemui kekasih di saat nganu, suster yang membantu persalinan Ibu, mendengar adzan pertama Ayah di telinga kita, atau ada kemungkinan ingat peristiwa perjanjian dengan Tuhan, amazing!.
Tetapi selama kita berkhayal bahwa manusia tanpa lupa, sebenarnya kelupaan sedang memeluk kita erat-erat. kita bukan hidup di dunia ide seperti kata Plato. Kita adalah bagian dari alam yang turut berubah dan berkembang, begitu kata Aristoteles yang fokus mencermati perubahan alam.
Dengan demikian, proses pemaksimalan memori atau ingatan dapat membantu perkembangan individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Robert Mills Gagne, psikolog asal Andover Utara, Massachusetts, dalam proses pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, yang kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar.
Dapat disimpulkan dari pemahaman Gagne, bahwa penerimaan informasi melibatkan kegiatan memori juga berpikir. Artinya, seiring proses pembelajaran, kita juga tengah berusaha memaksimalkan kinerja ingatan. Tetapi belakangan, problematika yang ada adalah ‘mager’ pada saat terbesit kalimat “Saya ini bodoh sekali,” atau kita mengingat kesalahan fatal saat nganu dengan pasangan tapi terjadi berkali-kali.
Ternyata kita tak pernah sungguh-sungguh belajar dan memilih acuh terhadap kesalahan masa lalu atau yang akrab disebut kenangan-kenangan pahit. Padahal dengan gratis, kenangan menawarkan diri menjadi fasilitator proses pembelajaran kehidupan. Mungkin, ini sebab terakhir adanya kenangan. Agar tak henti kita berpikir dan mengingat Tuhan.
Maka nikmat Tuhan mana lagi yang akan kita dustakan?
Penulis : Dhiams
Tags:
Opini