HMI dan Epistimologi Islam


Dalam dunia organisasi, kita tak pernah luput dari berbagai pemikiran yang menjadi landasan setiap individu menjalankan segala aktivitas kehidupan, serta sebagai jargon aliran dan idiologi. Tak dipungkiri juga banyak sekali perselisihan pendapat hanya karena berbeda pandang. Hal fundamental penyebab terjadinya pertikaian tersebut antara lain karena banyaknya berbagai filsafat sosial yang menjajak di tengah masyarakat, maka peperangan antar akidah, idiologi, dan isme semakin luas dan tak terelakkan.

Masalah tersebut memberikan dampak kepada invidu tertentu menjadi sangat tendensius dalam membela dan memegang erat idiologinya. Hal itu merupakan bentuk pandangan berdasarkan kadar indera setiap individu, pandangan itu juga yang menjadi titik simpul, penafsiran, serta hasil dari kajian masing-masing individu berkenaan dengan alam semesta, manusia, serta masyarakat dan sejarah. Berbagai kelompok memiliki sudut pandang yang saling berbeda antar sesama, maka dalam hal ini idiologi pun akan saling berbeda pula karena dasar kepercayaan, asas idiologi, dan yang mempertajam pemikiran tersebut merupakan gambaran dunia.

Idiologi menciptakan titik simpul manusia dalam menghantarkan sampai pada dengan tujuannya dengan kata ‘bagaimana’ kita manusia merawat keberlangsungan yang sesuai dengan keyakinan idiologi. Segalanya memiliki alasan kuat ‘mengapa’ harus sedemikian (menurut pandangan dunianya).

Di Latihan Kader I (LK-1), secara langsung kita telah mendapati materi Nilai Dasar Perjuangan (NDP), dalam materi tersebut telah dipaparkan secara sistematis dari mana datangnya pengetahuan hingga menuai keyakinan pada setiap penganut keyakinan tersebut. Dimulai dari dasar-dasar keyakinan, nilai-nilai tertinggi kehidupan, dan ketuhanan. Walau tak dipaparkan secara utuh, namun secara garis besar materi yang disampaikan harusnya sudah sangat lebih dari cukup bisa menjadi bekal sekaligus pisau bedah bagi kader untuk senantiasa takzim dalam menjalankan tugas fungsinya.

Seperti kutipan,” Ilmu itu ibarat banjir, dan banjir tak menjangkau tempat yang tinggi.”

Dari hari itu, setelah kita tahu bahwa sesungguhnya apa yang kita tahu tidak ada apa-apanya, seharusnya kita lebih sadar dan segera menata ulang cara pandang kita terhadap berbagai hal dengan penuh kerendahan hati. Mulai dari memandang berbagai karakteristik individu, sampai dengan seluruh idiologi yang berkembang di sekitar kita. Cara itu juga merupakan langkah awal kita mengenal warna-warni kehidupan, supaya tidak mudah saling menyalahkan, dan juga lebih dewasa dalam memandang seluruh fenomena yang terjadi di masyarakat.

Demi pengetahuan yang dipelajari dapat terserap secara utuh, seseorang harus membunuh rasa dendam dalam hati, ego, bahkan sampai meniadakan dirinya sendiri. Hal tersebut bisa dimaknai bahwa secara keseluruhan yang ada dan terjadi di dunia ini merupakan unsur-unsur pengetahuan, tapi justru terkadang sifat-sifat dalam diri kita yang seringkali menjadi penghambat untuk menyerap pengetahuan tersebut. 

Jalan untuk melihat hal yang paling mendasar adalah dengan intuisi murni, bukan melalui kitab-kitab atau pembelajar intelek (intellectual learning). Seperti proses meditasi dari Nabi Ibrahim. Di sana ia belum mengenal Islam, ia meditasi tanpa campuran apapun. Kalau Descartes mengatakan “Saya berfikir maka saya ada”. Dengan kita berfikir, merenung, dan memahami yang dalam istilah Budha Satori/meditasi kita akan menemui diri kita tentang siapa sebenarnya diri kita. Maka sampai dengan itu, Rummi mengatakan “Siapa menemukan diri sejatinya, maka ia mengenal Tuhannya."

Tanggung jawab terbesar dalam menuntut ilmu itu terletak saat kita menjalankan hidup seirama dengan pengetahuan yang kita ketahui. Sama hal seperti Adam A.S yang sadar akan mana kebaikan dan kesalahan setelah memakan buah dari pohon pengetahuan (buah kuldi). Bila diuraikan, dapat diartikan bahwa seluruh kesalahan meruapakan merupakan salah satu isyarat bagi manusia dalam mengenal kebenaran. Dalam satu tingkatan ini, kebenaran tidak serta merta diyakini sebagai sebuah kebenaran yang hakiki, karena keterbatasan indera dan rasio yang ada pada manusia seringkali didapati melakukan kekeliruan dalam menelaah segala permasalahan yang ada.

Dalam buku ‘Pengantar Epistemologi Islam’ karya Ayatullah Murtadha Muthahhari dalam bab awal dijelaskan secara garis besar muara keyakinan kita seluruhnya akan kembali pada Al-Qur’an. “Namun apakah cukup hanya dengan mempercayai Al-Qur’an tanpa mengetahui esensi dari setiap ayatnya?”. Justeru di situ letak klimaksnya, yaitu dalam berproses, perlahan dengan merefleksi dan bermeditasi kita akan sampai pada kebenaran dan menjadi pribadi yang damai.


_________
Penulis:
Susu Kaleng (nama pena).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama