Alangkah indah
B
i
s
a
b
e
r
d
o
s
a
Puisi yang diberi judul O oleh penyair kelahiran Tanjungkarang, 15 Juli 1972, Ahmad Yulden Erwin membuat saya menilik kedalaman tindak selama ini. Hingga pada akhirnya saya mengajukan tanya pada nurani sendiri; kapan pendosa menemukan makna indah dari khilaf tindak?
Teramat buru-buru, mungkin, tapi saya langsung berkesimpulan bahwa boleh jadi seorang pendosa akan memaknai keindahan dari dosanya ketika ia sadar bahwa telah melakukan dosa.
Misal, saya melakukan kebohongan (tentu dalam konsep beragama hal tersebut salah, akan diganjar dengan dosa). Pada perenungan tindak saya menyadari dosa atas kesalahan. Dari situ saya mendapatkan pengetahuan betapa menyayat nurani (baca: hati kecil) saat memproduksi dosa dari sebuah kebohongan.
Kebohongan memang sulit diidentifikasi. Terlebih pada era yang mengaminkan bahwa keberadaan fakta tidak mampu menggerakkan kepercayaan umum. Walhasil, informasi yang hadir di ruang publik menjadi bias dan kebenaran menjadi pertanyaan baru yang tak kunjung final. Sebab setiap pelaku kebohongan berkesempatan mengeluarkan dalih. Dan, pada gilirannya, setiap dalih berkesempatan untuk liar, tidak terbendung, serta bermetamorfosis ke arah seperti kebenaran.
Larangan Berdusta dalam Risalah Agama
Dalam domain konsepsi beragama, setiap pemeluk agama (komunitas kepercayaan) pasti menjunjung tinggi nilai kebenaran religius. Begitu juga pemeluk agama Islam, yang mengemban konsekuensi secara langsung untuk cinta kasih ke semesta alam. Tentunya cinta kasih tidak ditularkan melalui kebohongan. Dalam Al-Qur'an, setiap pemeluk Islam yang beriman dilarang untuk berbohong, misal salah-satunya; sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta (Q.S. An-Nahl: 105)
Tidak hanya dalam ayat Al-Qur'an, tindakan berbohong (sama halnya dusta) sudah dikecam oleh Rasulullah Muhammad Saw., yang dalam sabdanya: siapa yang menipu, maka tidak termasuk golongan kami.
Bohong, dusta, mungkin seperti setetes nila yang jatuh ke kubangan susu. Ia tidak menjadikan susu lantas ganti penyebutannya. Tapi nila setetes itu akan merusak rasa susu. Kita tidak lagi bisa memisahkan keduanya. Mata kita yang tidak awas, akan sulit melihat perbedaan. Tidak kentara. Tapi kita tahu, itu bukan lagi susu.
Begitu halnya dengan kebohongan dan dusta, yang setetes, mungkin saja tidak merusak citra personal pelakunya. Ia, si pelaku, di mata lain orang mungkin masih terkesan meyakinkan. Namun, di sisi lain mentalnya jatuh, terinjak-injak dan koyak. Mungkin saja begitu. Atau mungkin, boleh jadi dalam kesendirian menganggap bahwa berdusta/berbohong dalam kehidupan di dunia ini sah saja. Lalu dengan buru-buru kita akan berkata namanya masih hidup di bumi, bukan di sorga.
Tapi pandangan sah-sah saja untuk berbohong harusnya tidak hidup dalam pikiran pemeluk agama. Sebab agama tidak mengajarkan demikian.
Kesunyian dan kesendirian harusnya mampu mengguratkan hati kita, pelaku dosa, yang dari sana timbul sebuah alasan paling logis dan rasional mengapa kita harus tetap menjaga kebenaran sebagai nilai yang harus hidup di bumi. Bukan hanya di lisan dan angan dari sebuah gagasan yang sering kita ada-adakan, lalu pergi.[]
Tentang yang Nulis:
Afriyan Arya Saputra aja. Cukup. Sungguh.
Afriyan Arya Saputra aja. Cukup. Sungguh.
Tags:
Opini