"Mencoba menangkap keberadaan moral."
Selalu ada yang sulit ditafsirkan. Misalnya moral. Ia butuh penafsiran berkali-kali saat Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan moral sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Di sini, moral menjadi sulit diraba. Dan tafsir lain dibutuhkan.
Al-Ghazali (1994: 31) ternyata berkata senada, dengan dilengkapi beberapa penjelasan. Dalam pandangannya, Al-Ghazali menyatakan bahwa kata moral sepadan dengan akhlak, sebagai perangai (watak dan atau tabiat) yang menetap pada jiwa manusia dan mendasari perbuatan reflek dari manusia tersebut, tanpa paksaan dan rencana sebelum melakukannya.
Dari itu berkali-kali moral coba ditangkap keberadaannya.
Misal, dengan nge-frank ala VLOGers untuk tahu respons reflek dari masyarakat. Dengan harapan mendapat gambar pasti mengenai moral. Meski banyak pertanyaan menyimpang dari tujuan awal yang 'sekadar ingin tahu'.
Mengajukan tanya (mungkin) bisa saja menjadi sarana penyelidikan. Tapi tentu itu untuk mengukur moralitas orang lain. Melihat keberadaan individu di luar 'saya'. Diluar kita yang berdiri di tengah masyarakat. Yang merupakan moralitas individu yang berdiri sendiri, dan penyokong dari moralitas masyarakat.
Melihat moral dalam diri bisa dengan banyak-banyak merenungi perbuatan. Atau dengan membaca apa yang ditulis Djenar Maesa Ayu dalam Moral di kumpulan cerpen Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu). Dalam Moral, moral dijual.
Moral (yang dalam persepsi sebagai akhlak, perangai, watak, tabiat) dijual sebagai barang. Harganya seribu rupiah, jauh lebih murah satu juta sembilan ratus sembilan puluh delapan ribu delapan ratus rupiah dari harga sebuah rok mini. Dan, pada tulisan itu kita melihat 'tokoh saya' lebih tertarik untuk membeli rok mini demi sebuah pesta. Meski hanya seribu rupiah, ia sebagai pembeli, tidak ingin dirugikan hanya karena membeli sebuah barang yang tidak penting-penting amat.
Sebuah ironi terbaca. Tentu bukan pengilhaman dari mimpi di siang bolong Djenar menulis begitu. Melainkan moralitas masyarakat saat ini telah bergeser menjauhi kategori moral yang baik. Dan rokmini lengkap dengan harganya, beserta pergaulan 'tokoh saya', menjelma simbol hedonisme.
Pada saat itu gaya hidup mengikis moral. 'Tokoh saya' melenggang di menuju pesta. Dandanannya glamor.
Rok kulit mini yang saya kenakan dengan paduan tank top merah menyala membuat kepercayaan diri memuncak seketika.
Tulis Djenar demikian. 'Saya' amat percaya diri, tapi, ia menjadi terkejut karena semua tamu yang dipandangnya mengenakan moral.
Pilihan itu tidak hanya hadir di ruang-ruang kreatif menulis, tapi di kehidupan bermasyarakat bisa disikapi antara pilihan untuk bermoral atau bergaya hidup.
Mungkin dari sini proses pencarian akan moralitas menjadi penting. Terlebih banyak masyarakat yang latah dalam memberikan suara di tahun politik ini. Masyarakat--tanpa dipaksa, tanpa direncanakan, tanpa dibayar--kini terbelah. Saling klaim kebaikan. Saling hujat.
Eh, ternyata hal itu bukan vonis.
Itu moral. Akhlak. Tabiat. Watak.[]
_______
Tentang Si Tukang Tulis
Afriyan Arya Saputra, gemar minum kopi.
Tentang Si Tukang Tulis
Afriyan Arya Saputra, gemar minum kopi.
Tags:
Esai