Mampukah manusia menggunakan kecerdasannya menciptakan kecerdasan buatan (artificial intelligence - AI), sehingga kecerdasan manusia tidak sanggup untuk mengalahkan kecerdasan buatannya sendiri?
Pertanyaan itu, mungkin, telah lama bersarang di kepala kebanyakan orang yang berpikir selama ini, khususnya pemikir di tanah air. Sebentar lagi buah pikiran manusia akan berhadapan dengan buah pikiran AI. Hasil pengembangan AI bukan lagi mesin berteknologi yang bertindak statis. Ia dilengkapi dengan kemampuan analisis yang detil. Dibuktikan, misalnya, saat teknologi Deep Mind mampu mengalahkan pemain catur terbaik dunia. Atau Pepper Robot yang secara kompleks mampu menganalisis emosional.
Keberadaan kecerdasan buatan pun sebenarnya sudah seringkali kita jumpai dalam telpon pintar. Mulai dari pendeteksi wajah dan sidik jari untuk sandi. Menerjemahkan suara ke dalam teks, dan sebaliknya.
Tujuan pengembangan kecerdasan buatan (AI) sendiri, pada umumnya, ialah untuk meringankan tugas, bukan menggantikan peran manusia.
Seperti apa yang dilansir News Microsoft, pada Selasa (12 Maret 2019), bahwa Haris Izmee, Presiden Direktur Microsoft Indonesia mengatakan pusat AI terletak pada manusia. Pengembangan AI pun dirancang untuk melakukan pekerjaan yang menghambat produktivitas manusia. Haris menambahkan bahwa keterampilan yang dirancang pada AI tidak pada wilayah teknis dan mengelola data saja, tetapi juga meliputi kemampuan untuk berinisiatif dan bekerjasama dalam sebuah tim.
Tapi publik tanah air--bahkan sampai wilayah Asia Tenggara--yang menganggap AI sebagai momok. Boleh jadi demikian adanya. Pengembang, perusahaan raksasa dan investor proyek AI bisa dipastikan tidak terkena dampak langsung.
Kita bisa lihat apa yang dikutip voxpop.id atas pernyataan Stephen Hawking yang menyebut bahwa permasalahan dari teknologi kerap kali digunakan untuk kepentingan industri alih-alih kemanusiaan.
Khusus di wilayah Asia Tenggara, negara Indonesia menempati posisi pertama untuk perusahaan yang mengadopsi AI, yakni 24,6% menurut International Data Corporation (IDC) tahun 2018. Hal tersebut masih terbilang rendah jika melihat di Tiongkok dan Korea Selatan yang mencapai 80% perusahaan yang mengadopsi AI demi keberhasilan bisnisnya di masa mendatang.
Dalam BCA Prioritas Magazine, pada Regional: Memajukan Bisnis, Budi Rahardjo, ahli keamanan informasi dari Institute Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, bahwa ada ketakutan berkurangnya tenaga kerja di Perusahaan, yang bisa memicu keributan. Juga penggunaan AI dipandang tidak secara langsung meningkatkan pendapatan perusahaan, hanya lebih menekan biaya operasional.
Bahkan yang mengejutkan lagi adalah data yang disajikan dalam Tabloid APKOMINDO.info, dalam World Economic Forum (WEF) 2017 yang digelar di Davos meyakini bahwa 5 juta orang akan kehilangan pekerjaan pada 2020, ketika kecerdasan buatan dan bentuk teknologi pintar lainnya akan menjadi bagian integral hidup manusia.
Dilema memang saat potensi AI kebanyakan hanya difokuskan untuk perkembangan dunia industri, uji coba dan sekadar mengikuti tren. Meski tidak bisa ditampikan, bahwa penggunaan AI pada perusahaan seperti Grab, Go-Jek, Ruang Guru dan CekMata.com telah memberi kemudahan tersendiri pada masyarakat Indonesia, dan di sisi lain membuka lapangan pekerjaan.
Ada baiknya kaum elite republik ini beralih fokus ke arah pemecahan masalah ekonomi dengan mengadopsi AI. Misalnya dengan mengadopsi AI untuk mendudukkan masalah ekonomi modern dengan konsepsi share economic serta economic orange dalam bingkai sistem ekonomi Islam. Begitu pun dalam mencari solusi untuk memformat pendidikan yang pas sehingga tidak terkesan bongkar-pasang.
Tapi itu semua toh untuk apa dipikirin sering-sering dan sungguh-sungguh. Kita kan masyarakat Indonesia, tentu saya juga lebih suka dengan kebiasaan ghibah, berperan aktif dalam menentukan pemimpin organisasi, gak boleh golput lah, sibuk menyoal pilihan politik--dari sebaru bangun tidur hingga di dalam mimpi.
Satu lagi yang saya--dan mungkin kamu--gemari: membicarakan lawan jenis. Yap, membicarakan jodoh. Tapi omong-omong, sudah ada teknologi yang memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) dalam mencari jodoh, yakni MEi. Sistem chatting saat menggunakan MEi akan mendeteksi anomali dan perilaku pengguna selama percakapan yang berlangsung, menghindari miskomunikasi sehingga meminimalisir salah tafsir, memberikan gambaran profil kepribadian, hingga memprediksi usia dan jenis kelamin. Gak usah capek-capek ke Mbah Dukun lagi, kan?
______
Tentang Tukang Tulis
Afriyan Arya Saputra
Tentang Tukang Tulis
Afriyan Arya Saputra
Tags:
Esai