LAPMIMETRO.OR.ID -Suatu hari, Socrates bersama Glaucon pergi ke Piraeus, untuk memanjatkan doa kepada Yang Kuasa (Bendis; Dewi Bulan, Binatang Liar dan Perburuan). Setelahnya, mereka bergegas ke arah kota. Namun ketika hendak melanjutkan perjalanan kembali ke rumah, Polemarchus, putra Cephalus, meminta mereka untuk istirahat di rumahnya.
Selain Socrates dan Glaucon, di sana ada pula Cephalus, Thrasymachus, Cleitophon, Adeimantus, Polemarchus, Lysias, Euthydemus, Charmantides di rumah itu.
Di tengah bincang-bincang, Socrates menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernyataan Thrasymachus. Dan dialog pun terjadi.
Bagi Thrasymachus, keadilan (di suatu pemerintahan) tidak lain adalah kepentingan dari orang yang lebih kuat.
"Keadilan, seperti yang engkau katakan, adalah kepentingan orang yang lebih kuat," tegas Socrates, filsuf yang seni intelektualnya ia sebut maieutic (dari bahasa Yunani maieutikos, artinya bidan).
"Itulah keburukanmu, Socrates; engkau menggunakan kata dalam arti yang paling menghancurkan bagi argumen itu."
"Sama sekali tidak, tuanku yang baik," sahut Socrates.
"Ya," jawab Thrasymachus, "apakah engkau tidak mendengar bahwa bentuk pemerintahan itu berbeda-beda; ada yang tirani, ada yang demokrasi, dan ada pula yang aristrokasi?"
Bagi Thrasymachus, bentuk apapun pemerintahan akan menghasilkan produk hukum untuk kepentingan mereka (pemerintah) sendiri, dan itu merupakan bentuk (upaya) keadilan yang mereka terapkan.
Kita bisa mendapati dialog itu di buku Republik, Plato. Ada dilema pada pendapat Thrasymachus. Ia berangkat dari proses pembacaan. Ia membaca aksi-reaksi, dan menarik kesimpulan bahwa keadilan tidak lain adalah perjuangan kepentingan semata.
Kita, di republik ini, mestinya merasa was-was. Berpikir dan menafsirkan ulang apa yang sebenarnya menjadi alasan utama; kenapa banyak manusia ingin duduk di pemerintahan?
Benarkah peduli dengan rakyat? Seperti yang kita dapati dalam kalimat-kalimat di alat peraga kampanye, sebelum Hari Tenang Pemilu ini?
Peduli buangeeeet :'(
Bisa kita lihat, misalkan apa yang diinformasikan Komisi Pemberantasan Kosupsi (KPK), pada tahun 2018 terdapat 195 kegiatan penuntunan (berdasarkan Berkas Perkara). Kebanyakan memuat kasus penyalahgunaan kekuasaan, dan beberapa dinilai menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.
Dari 195 perkara tersebut, ada yang begitu menarik perhatian saya, yakni perkara TPK atas nama terdakwa Setya Novanto. Saya langsung terngiang-ngiang bagaimana drama-drama yang dibuatnya. Aduh duh.
Dari itu kita boleh jadi mengaminkan apa yang dipandang Thrasymachus sebagai keadilan. Bahwa pemerintah sibuk merekonstruksi tafsir keadilan hanya demi kepentingan, sebab merasa lebih kuat daripada sekadar rakyat biasa.
Bisa dilihat sekali lagi, bahwa, pemerintah dan elite politik bangsa ini mendekati, merangkul dan mengayomi rakyat ketika mendekati gelaran ritus kenegaraan semata. Bukankah itu nama lain dari-sedang-memperjuangkan kepentingan bagi diri dan kelompoknya. Itulah keadilan, yang ironi.[*]
_______
Penulis:
Afriyan Arya Saputra
Penulis:
Afriyan Arya Saputra
Tags:
Esai