DEMOKRASI DAN DEMOCRAZY



Perhelatan pesta demokrasi telah berlalu. Sebelumnya masing-masing Capres-Cawapres, DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten saling memberikan janji presitiusnya. Mulai dari yang bisa diterima nalar sampai janji di luar nalar, rakyat yang selalu di atas namakan bahkan sangat sulit untuk mencari makan.

Topik politik yang hangat di media sosial yakni Presiden dan Wakil Presiden, huru-haranya masih terus berlanjut. Aksi saling serang isu kecurangan seperti klaim formulir C1 bahkan sampai deklarasi kemenangan sudah dilakukan masing-masing calon. Melihat kondisi ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak terlalu memperdulikannya, ditambah lagi isu bersama yang dibangun tentang netralitas penyelenggara pesta demokrasi.

Tudingan ini bukan tanpa sebab, kesalahan input data yang berulang kali ini semakin menguatkan isu yang dibangun. Ironisnya, tidak sedikit juga korban sakit dan meninggal dunia dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Terdata di KPU RI berjumlah 883 orang sakit, 144 oran meninggal dunia, ini menjadi rapor merah bagi KPU RI. Belum lagi, biaya pemilu ini jika diakumulasikan mungkin milyaran, bahkan hingga trilyunan. Alih-alih mencari pemimpin berkualitas, nyatanya rakyat masih berjuang dalam friksi independennya.

Fenomena post-truth— pasca kebenaran, kira-kira seperti itulah pengertian etismologinya. Hal Ini merupakan politik dimana kebenaran objektif tidak menjadi kebenaran mutlak, yang diutamakan adalah kebenaran emosional. Fenomena ini bukan pertama kali ada di Indonesia, fenomena post-truth ini juga digunakan oleh Jair Bolsonaro (Presiden Brazil) yang dilantik awal tahun 2019. Menang dalam pertarungan pemilihan Presiden dengan membangkitkan kembali isu Komunisme, yang sudah jelas bahwa Komunisme sudah menjadi zombi lalu dibangkitkan kembali.

Strategi kemenangan ini digunakan juga di Indonesia dengan isu yang berbeda, mulai dari merubah Ideologi Pancasila, Ekonomi China, sampai isu Komunisme. Begitu juga peran media sosial, sebagai penyambung informasi yang dengan mudah berperan menyebarkan kebohongan dan digunakan sebagai strategi kemenangan pasangan calon. Bukan visi misi yang ditawarkan kepada masyarakat, tetapi momok ketakutan dan ancaman yang ditawarkan.

Fenomena ini dapat dikatakan berhasil di Indonesia. Nyatanya kaumnya intelektual, ikut kedalam pusaran penyebar kebohongan. Alih-alih mengkritisi, malah berdiri tegap dalam barisan pragmatisme dengan iming-iming jaringan para elite. "sehat sehat aja badan kamu dek, bagian kamu ada” ujar Suhu.

Sekarang kita berada dalam dinamika politik,  dimana manusia tidak melihat fakta kebenaran, melainkan doktrin yang dibangun. Bahwa kebohongan yang terus diulang maka akan menjadi kebenaran objektif. Lalu untuk siapa pesta demokrasi ini sebenarnya?

_________________
Tentang Penulis:
Agus Alimuddin, lulusan S1 Perbankan Syariah IAIN Metro yang masih terus belajar.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama