Oleh: Dhimas Alghifari
“Terbinanya isnan akademis pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil, makmur yang diridhai Allah SWT.” Sudah barang pasti kalimat ini tidak lagi asing dalam benak kader HMI. Tentunya para kader tak akan membiarkan kalimat ini tertulis di secarik kertas saja. Kalimat yang termaktub dalam anggaran dasar pasal 4 adalah dermaga sebagai tujuan kapal besar organisasi HMI berlabuh. Tetapi, selama kapal ini berlayar, akan banyak gelombang yang mungkin bisa menggoyahkan atau bahkan menenggelamkan, gelombang raksasa hedonisme salah satunya.
Dimana hura-hura, popularitas, dan gaya hidup kebarat-baratan menjadi hal paling berbahaya di lingkup kader saat ini, jelas hal yang begitu kontras dengan kader terdahulu mengingat mereka yang begitu visioner.
Biarkan sejenak saya menjadi Dilan 1990, “saya ramal, kita akan tenggelam”.
Seperti seharusnya, sebuah organisasi pasti menginginkan tujuannya tercapai. Namun prosesnya tak pernah semudah membalalikkan telapak tangan. Tujuan HMI adalah bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil, makmur. Namun disisi lain, begitu banyak kader ongkang-ongkang yang melabeli dirinya sebagai aktivis atau menilai organisasi sebagai gaya hidup, lalu melupakan fungsi dan tugasnya. jenjang perkuliahan seharusnya menjadi jalur yang amat strategis, mengingat dunia perkuliahan adalah tempat menuntut ilmu. Kemudian, tanggung jawab mahasiswa kepada masyarakat, seperti katanya bahwa mahasiswa adalah agen perubahan dan sosial kontrol. Toh, mahasiswa pun akan
kembali ke masyarakat. bekal apa yang sudah dibawa? apakah retorika untuk mengelabuhi, atau slogan suatu organisasi? Para kader pastinya tak akan kebingungan, mengingat ilmu turun-menurun yang sudah dipelajari eng-ngolah atau sebut saja nganu.
Sekali lagi ijinkan saya menjadi Dilan 1990, “jangan jadi kader, berat kamu gak bakal kuat, nanti kena nganu”.
Mungkin saja kita tak akan lupa, slogan indah yang selalu terucap pada bibir kader HMI “yakin, usaha, sampai”. Sayangnya slogan ini sering dijadikan sebagai cagak pencitraan gagahnya seorang kader himpuan. Terkadang memang membingungkan, kemana perginya semangat untuk perubahan? Apakah para kader sedang tertidur pulas, apakah sedang sibuk membicarakan rumput tetangga? Atau sudah berpindah haluan menjadi sang Pemburu wifi, nongkrong diwarung kekinianss, ngupei sambil nganu pffttt.
Siklus hidup seperti ini seakan menjadi pola baru dan gaya hidup baru. Budaya hedonisme ini muncul tanpa kita sadari seiring dengan gerak zaman yang semakin modern. Bila tak ingin disebut sebagai manusia purba atau manusia zaman dahulu, ketik saja dilaman google “style kekinians” atau “gaya trending masa kini” pastilah ditemui gaya modern ala barat. Gaya hidup glamour semakin digandrungi para kader, seakan ada istilah “purba amat Gan, ga style itu ga zaman, Gan”.
Terkait hedonisme, budaya ini memang tidak dapat dipungkiri lagi, berlomba-lomba mencari popularitas agar dapat disebut number one, seperti number one of kekinians atau number one in organizations hehe. Jangan lupa fungsi dan tujuannya gan, saling mengingatkan, katanya berteman lebih dari saudara kan?.
Pertanyaannya sampai kapan hedonisme dibiarkan hingga mengalir bersama darah dan melekat di tulang kita? Entah sampai kapan jiwa dan raga kita dikuasai oleh hedonisme? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing, apakah kita mau setidaknya mengikis hal ini dan tidak menutup mata pada lingkungan sekitar, atau tetap melestarikan hedonisme di lingkup para kader?. Pada kenyataannya masyarakat sangat membutuhkan mahasiswa yang sesungguhnya bukan aktivis ongkang-ongkang apalagi yang nganu.
Meski hedonisme berpeluang menenggelamkan kapal organisasi HMI, setidaknya kita bisa rangkul-merangkul untuk bertahan, kita berteman lebih dari saudara kan? HMI pasti jaya jika ada kebersamaan.
______
Tentang Penulis:
Nama: Dhimas Alghifari
TTL : Metro, 15 Juni 1999
Komisariat: F-KIP
Hobi: Tidur