Oleh: Yogi Wahyudi
LAPMIMETRO.OR.ID - Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan Organisasi Mahasiswa Islam tertua di Indonesia. Dulu HMI adalah organisasi yang besar, baik secara kapasitas, kapabilitas, kuantitas maupun kualitas. Bahkan Presiden RI pertama Ir. Sorkarno pernah berkata bahwa, "saya tidak akan pernah membubarkan HMI karena HMI adalah organisasi yang refolusioner."
Lafran Pane sebagai pemrakarsa dengan dibantu oleh 14 mahasiswa lainnya berupaya membentuk HMI sejak November 1946- 04 Februari 1947 (Fase I Perjuangan HMI). Sampai akhirnya bertempat di Yogyakarta pada tanggal 05 Februari 1947 HMI didirikan. Pada saat itu HMI sudah memiliki 3 Cabang yaitu Klaten, Yogyakarta dan Solo (Fase II Perjuangan HMI). Dengan komitmen dan perjuangan para pendahulu, HMI memiliki sepak terjang yang sangat luar biasa.
Saat Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakannya di Madiun pada tanggal 18 September 1948, Kader HMI menciptakan inovasi sesuai kebutuhan Negara pada saat itu dengan dibentuknya Corps Mahasiswa (CM) oleh ketua PMI/Wakil Ketua PB Ahmad Tirto Sudiro untuk membantu pertahanan negara dan memberantas pemberontakan PKI. Panglima Perang Republik Indonesia Jendral Sudirman pada suatu kesempatan pernah mengharap HMI bukan hanya "Himpunan Mahasiswa Islam, tetapi juga Harapan Masyarakat Indonesia". Hal yang cukup menggugah semangat sekaligus beban yang cukup berat atas pernyataan tersebut, namun bukan berarti itu adalah hal yang salah mengingat tujuan HMI terbentuk pertama kali adalah "Mempertahankan NKRI dan Mensyiarkan ajaran Islam"(Fase III Perjuangan HMI).
Dengan Pindahnya PB dari Yogyakarta ke Jakarta, banyak upaya yg harus dilakukan HMI selama 13 tahun (1950-1963), diantaranya: Pembentukan cabang-cabang baru, Menerbitkan majalah sejak 1 Agustus 1954 (Sebelumnya terbit Criterium, Cerdas dan tahun 1959 menerbitkan majalah Media), Sudah tujuh kali Kongres HMI, Pengesahan atribut HMI seperti lambang, bendera, muts, hymne HMI, merumuskan tafsir asas HMI, Pengesahan kepribadian HMI, Pembentukan Badan Koordinasi (BADKO) HMI, Menentukan metode pelatihan (Training) HMI, Pembentukan lembaga-lembaga HMI di bidang ekstern, Menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) I tahun 1955, Penegasan Independensi HMI, Mendesak pemerintah supaya mengeluarkan UU PT, tuntutan agar pendidikan agama sejak dari Sekolah Rakyat (SR) sampai Perguruan Tinggi, Mengeluarkan konsep peranan agama dalam pembangunan, dan lain-lainya(Fase IV Perjuangan HMI).
Keputusan Presiden nomor 200: tanggal 17 Agustus tahun 1960, Masyumi di bubarkan dan diikuti dengan bubarnya Pelajar Islam Indonesia (PII), PKI semakin bersemangat untuk membubarkan HMI karena dianggap sebagai penghalang bagi tercapainya tujuan PKI. Kondisi ini membuat Generasi Muda Islam (GEMUIS) yang terbentuk tahun 1964 membentuk Panitia Solidaritas Pembebelaan HMI, yang terdiri dari unsur-unsur Pemuda, Pelajar, Mahasiswa Islam seluruh Indonesia. Karena Bagi umat Islam, HMI merupakan taruhan terakhir yang harus dipertahankan setelah sebelumnya Masyumi dibubarkan. Kalau HMI sampai dibubarkan, maka satu-persatu dari organisasi Islam akan terkena sapu pembubaran. Namun ternyata HMI tidak dibubarkan, bahkan dengan tegas Presiden Soekarno mengungkapkan dalam pidatonya: Pemerintah mempunyai kebijakan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada kehidupan organisasi mahasiswa yang revolusioner. Tapi kalau organisasi mahasiswa yang menyeleweng itu menjadi kontra revolusi umpamanya HMI, aku sendiri yang akan membubarkannya. Demikian pula kalau CGMI menyeleweng menjadi kontra revolusi juga akan kububarkan (Fase V Perjuangan HMI).
Tanggal 25 Oktober 1965 lagi-lagi Kader HMI menunjukan inovasi yang dibutuhkan negara dengan terbentuknya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) oleh Wakil Ketua PB HMI Mar'ie Muhammad untuk ke-2 kalinya menumpas PKI dan sesuai dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau sering disebut SUPER SEMAR, maka pada tanggal 12 Maret 1966 dibubarkam dan dilarangnya PKI di Indonesia (Fase VI Perjuangan HMI).
Tanggal 1 Oktober 1966 adalah tembok pemisah antara Orde lama dan Orde baru. Tentu saja, HMI pada Orde barupun berpartisipasi dalam pembangunan di Indonesia sesuai dengan aspek pemikirannya, telah memberikan sumbangan dan partisipasinya dalam pembangunan : (a). Partisipasi dalam pembentukan suasan, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan, (b). Partisipasi dalam pemberian konsep-konsep di berbagai aspek pemikiran; (pertisipasi dalam bentuk langsung dari pembangunan) (Fase VII Perjuangan HMI).
Pada tahun 1970, Nurcholis Madjid (dikenal panggilan Cak Nur) menyampaikan ide pembaharuannya dengan topik Keharusan Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam Dan Masalah Integrasi Umat. Sikap itu diambil, karena apabila kondisi ini dibiarkan mengakibatkan persoalan-persoalan umat yang terbelenggu selama ini, tidak akan memperoleh jawaban yang efektif. Berlakunya Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1985 yang mengharuskan bahwa semua partai dan organisasi harus berdasarkan Pancasila, membuat pergolakan ditubuh HMI pada saat itu. Lagi-lagi HMI harus mengambil sikap atas permasalahan ini yang berujung pada kesimpulan Kongres ke-16 HMI di Padang tahun 1986, HMI menyesuaikan diri dengan mengubah asas Islam dengan Pancasila. Akibat penyesuaian ini beberapa orang anggota HMI ada yang tetap mempertahankan azas Islam disebut HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) dan HMI yang mengikuti ketetapan UU No. 8 th. 1985 mengubah azas menjadi Pancasila disebut HMI DIPO (karena sekretriatnya di jln. Diponegoro pada saat itu) (Fase VIII Perjuangan HMI).
Secara historis HMI sudah mulai melaksanakan gerakan reformasi dengan menyampaikan beberapa pandangan yang berbeda serta kritik maupun evaluasi secara langsung terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1995. Sesuai dengan kebijakan PB HMI, bahwa HMI tidak akan melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional dan konfrontasi terhadap Pemerintah. HMI melakukan dan menyampaikan kritik secara langsung yang bersifat konstruktif. Koreksi dan kritik yang dimaksud, pertama, disampaikan M. Yahya Zaini Ketua Umum PB HMI Periode 1992-1995 ketika memberikan kata sambutan pada pembukaan Kongres HMI ke-20 HMI di Istana Negara Jakarta tanggal 21 Januari 1995. Koreksi itu menurut penilaian HMI dan pembangunan ekonomi kurang diikuti dengan pembangunan politik.
Sebuah gerakan reformasi berikutnya dengan fokus yang lebih tajam, lugas dihadapan Presiden Soeharto saat menghadiri dan memberikan sambutan pada Ulang Tahun Emas 50 tahun HMI di Jakarta tanggal 20 Maret 1997, dimana Taufik Hidayat Ketua Umum PB HMI 1995-1997 menegaskan sekaligus jawaban atas kritik-kritik yang memandang HMI terlalu dekat dengan kekuasaan. Bagi HMI, kekuasaan atau politik bukanlah wilayah yang haram, politik justeru mulia, apabila dijalankan di atas etika dan bertujuan untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Lantaran itu, HMI akan mendukung kekuasaan pemerintah yang sungguh-sungguh dalam meperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sebaliknya, HMI akan tampil ke depan menentang kekuasaan yang korup dan menyeleweng. Inilah dibuktikan ketika HMI terlibat aktif dalam merintis dan menegakkan Orde Baru.
Pemikiran reformasi selanjutnya disampaikan Ketua Umum PB HMI 1997-1998 Anas Urbaningrum pada Ulang Tahun HMI ke-51 di Graha Insan Cita (GIC) Depok tanggal 22 Februari 1998, dengan judul Urgensi Reformasi Bagi Pembangunan Bangsa Yang Bermartabat (Fase IX Perjuangan HMI). Dan sampai hari ini HMI masih tetap berdiri namun semakin jauh dari mahasiswa (Indikator ke-2 Buku 44 Indikator kemunduran HMI oleh Agussalim Sitompul). Kurang berfungsinya Komisariat sebagai ujung tombak dalam rekrutmen anggota, pembinaan anggota, sebagai syarat kelanjutan kehidupan organisasi, yang mengambil basis di Perguruan Tinggi, karena komisariat khususnya yang dibawah naungan HMI Cabang Metro ketika setelah melaksanakan Basic Training, selesai juga proses anggota baru. Pengurus komisariat tidak menjadi fasilitator yang baik bagi kebutuhan dan kehausan kader akan keilmuan dan diskusi, serta Memudarnyanya “tradisi intelektual HMI” (Indikator ke 6 dan 14) sebab tidak dekatnya kader dengan buku.
Ini adalah segelintir permasalahan yang ada di HMI terkhusus HMI Cabang Metro. Wajar saja jika HMI kehilangan basis intelektual di kampus-kampus eksklusif di negeri ini (Indikator ke 16) dan memudarnya tradisi intelektual, karena follow up perkaderan tidak berjalan sebagaimana mestinya (Indikator ke 17). Seharusnya diskusi menjadi asupan utama bagi kader HMI dan komisariatpun seharusnya menjadi wadah yang pantas untuk menyelenggarakan diskusi. Juga HMI Cabang Metro jarang melakukan evaluasi terhadap perjalanan organisasi dengan segala aktivitas pada umumnya, maupun pelaksanaan program kerja pada khususnya secara proporsional, berencana dan kontinyu seperti Rapat Pleno yang memiliki esensi evaluasi kepengurusan selama 1 semester tetapi tidak dilakukan sesuai dengan fungsi melainkan hanya formalitas dan setiap kepengurusan seharusnya mengadakan program yang dapat bersifat berlajut untuk kepengurusan selajutnya.
Jusrtu HMI Cabang Metro hari ini bukannya memperjuangkan-melanjutkan program baik di kepengurusan sebelumnya, tapi lebih kepada untuk ajang keren-kerenan dan bukan bersifat membangun. Dan hal yang paling sering terjadi di HMI Cabang Metro adalah Senang membuat program, kurang mampu membuat agenda pelaksanaannya (Indikator ke 24) dan programnya dibuat tanpa target (Indikator ke 25) seperti program kepengurusan Cabang maupun Komisariat, lebih banyak program tidak berjalan dari pada yang terrealisasi.
Penulis jadi teringat dengan sambutan senior pada sebuah acara yakni, "HMI terlalu banyak retorika daripada action"(Indikator ke 27) dan itu memang nyata terjadi. Terbukti Kader HMI Cabang Metro terlalu banyak berbicara yang tanpa landasan--mak begini, mak begijo--bahkan terkadang memaksakan pemakaian kosa kata yang sebenarnya tidak pantas atau tidak nyambung. Jadi jangan salahkan jika ada yang berasumsi bahwa HMI kini kecil baik dari segi peranannya maupun kuantitas dan kualitas (Indikator ke 35). Membaca tidak mau, dan tidak waras ya lagi adalah ketika menjadikan jabatan sebagai sebuah prestasi bukan tanggung jawab, terlalu banyak konsep namun tidak mau melaksanakan konsep, diskusi tidak mau namun ingin dianggap cerdas, tidak menjadikan Komisariat sebagai wadah proses melainkan tempat sok keren, tidak mau mengevaluasi program dan kegiatan dan bahkan kabur ketika LPJ adalah hal yang aneh, unik, tapi terjadi dan pada kenyataannya HMI nyaris kehilangan jati diri, sehingga tidak mempunyai kepribadian yang utuh (Indikator ke 44).
Bukan hanya penulis, tentu harapan kita semua agar HMI khususnya HMI Cabang Metro lebih baik lagi tentunya dengan pertimbangan dan strategi yang matang, sesuai kebutuhan, dan mau menjaga nama HMI. Penulis berharap agar tulisan ini dijadikan bahan refleksi dan koreksi untuk seluruh HMI terkhusus HMI Cabang Metro sebab jika dibiarkan tanpa ada pembaharuan di tubuh HMI, maka HMI akan tergerus oleh zaman.
Jangan hanya menjadikan Yakin Usaha Sampai sebagai selogan saat acara, tetapi juga harus mencari cara agar mengusahakan kebaikan hingga Sampai pada Tujuan.
Takbir!
_______
Tentang Penulis:
Yogi Wahyudi merupakan Kader HMI Cabang Metro yang sedang diamanahkan Sekretaris Umum LAPMI - HMI Cabang Metro Masa Juang 2018/2019. Selain berkecimpung dalam organisasi, Yogi adalah mahasiswa aktif di IAIN Metro.
Tentang Penulis:
Yogi Wahyudi merupakan Kader HMI Cabang Metro yang sedang diamanahkan Sekretaris Umum LAPMI - HMI Cabang Metro Masa Juang 2018/2019. Selain berkecimpung dalam organisasi, Yogi adalah mahasiswa aktif di IAIN Metro.
Tags:
Opini