Oleh: Tyas Amara R.
LAPMIMETRO.OR.ID - Menulis itu berat, sendirian gak akan kuat. Jadi, yuk belajar sama-sama.
Sejujurnya, menulis sedikit menjadi beban bagi saya. Apalagi saya merupakan mahasiswa aktif yang sedang banyak-banyaknya tugas kuliah. Terlebih ketika diwajibkan setor tulisan seminggu sekali, belum lagi harus mengatur keuangan karena sekaligus dipercaya menjadi Bendum, juga makalah, presentasi, observasi, tanda tangan temen-temen yang titip absen, bla bla bla, deeste....
Begitulah rentetan alasan yang sengaja saya buat. Bukan tuk lari dari amanah. Hanya saja saya bingung ketika berhadapan dengan lembar kerja kosong yang seakan selalu bicara: tulisi aku, tulisi aku, tulisi aku.
Mungkin butuh kursus merangkai kata. Untuk....
Jamrud, lewat Pelangi di Matamu terdengar amat syahdu ketika harus berhadapan dengan pertanyaan di internal LAPMI, mana setoran tulisan? Karena memang saya baru merasakan sulitnya merangkai kata. Sebab begitu banyak beda bahasa lisan dan tulisan, meski keduanya menyoal tentang satu kesatuan konteks. Kalau menulis saya selalu dihantam pertanyaan yang sulit diuraikan, hehehe..., ini gimana ya nyusun kata-katanya.
Tepat di 30 hari jadi LAPMI - HMI Cabang Metro ini saya menyadari bahwa ada yang harus diubah dari pola pembelajaran selama ini. Kemarin boleh saya menutup diri dari kebebasan informasi pembelajaran yang sekarang mudah didapat. Tapi tidak untuk hari ini. Komitmen LAPMI Metro sudah lebih dulu lahir di meja Rapat Kerja untuk fokus pada dua hal; membangun budaya intelektual (terkait tiga domain: membaca, menulis dan berdiskusi) serta meningkatkan kualitas tulisan.
Saya menyadari apa yang sedang dijuangkan ini berat, sungguh berat. Terlebih ketika harus menulis.
Yap, menulis itu berat, sendiri gak akan kuat. Jadi, yuk belajar sama-sama. Daripada salah memaknai kehadiran LAPMI HMI Cabang Metro secara buru-buru. Kami memang wadah pengembangan minat dan bakat khususnya bidang jurnalistik, karya tulis, literatur bacaan, dan bukan sedang kerja rodi. Kami bukan sedang kerja rodi untuk membangun kontruksi ulang sebuah tulisan yang masuk, Bang. Tolong pahami kami, tolong. Sebab jika Abang tidak hendak lagi untuk paham, pada siapa lagi keluh-kesah ini kami sampaikan.
Editornya mana?
Gak guna editornya!
Kenapa tulisan saya tidak diubah, hey, mana editornya?
Dari pertanyaan-pertanyaan itu saya langsung teringat sesuatu. Sebuah ungkapan yang baru saya dengar ketika pelatihan dasar jurnalistik: tulisan yang baik adalah yang tidak merepotkan editor.
Jadi saya sekarang lebih banyak baca-baca tulisan sebelum dikirim. Sambil bertanya dalam hati dan menanamkannya dalam diri: malu gak baca tulisan sendiri? Kalau masih malu, apalagi nanti dibaca orang lain?
Lebih baik saya lakukan revisi ulang-ulang sebelum ditanya editor, "kamu sudah sering menulis, tapi saya liat gak ada peningkatan kualitas tulisannya. Itu apa sih? Struktur bahasannya gimana?"
Lebih baik saya lakukan revisi ulang-ulang sebelum bertanya, kapan tulisan saya dipublish? Bisa langsung dipublish kan? Sementara membaca tulisan sendiri saja sering saya mual.
Atau memang semua itu sengaja diajukan ke LAPMI Metro? Sebab mau--meminjam ungkapan yang akrab di kalangan aktivis--ngukur kedalaman?
Abang.... Janganlah menganggap LAPMI HMI Cabang Metro ini sebagai bidang humas. Sebagai alat pemuas hasrat dari tulisan petinggi yang bersikap jumawa, namun kosong. Berkecenderungan untuk menyalahkan, mengeksploitasi serta menekankan bahwa tulisan yang telah Abang kirim hasilnya harus sempurna ketika dimuat. Perlu diketahui, Abang, celakanya bila sebuah tulisan yang dipaksakan lahir dan kejar setoran itu sampai di pembaca. Boleh jadi ia, si pembaca, akan pergi ke selatan, ke utara, timur-timur barat hanya untuk mendatangi rumah kawan karibnya.Dan setelah sampai di kediaman sahabatnya itu ia terengah-engah sambil berkata, "kan, ketahuan cerdasnya!"
Abang.... Siapa kami di matamu?
Kalau memang tiada artinya, ya sudahlah! Begitu kan adanya?
LAPMI HMI Cabang Metro ini bagimu hanyalah wadah pencitraan, kan? Hingga secara tega kau eksploitasi waktu kami demi citra arifmu di mata publik, sementara di waktu bersamaan kau cekik tim di balik layar. Bang, kami bukan tim hore apalagi tim sukses.
Akhirnya semua harus diakhiri dengan manis, Abang. Akhirnya apresiasi hanya untuk ia yang berprestasi. Akhirnya kita harus mengerti, semua yang berkontribusi mesti dihargai, meski di matamu tiada harganya. Dan akhirnya, dengan adanya LAPMI saya menjadi punya teman untuk belajar menulis.
________
Tentang Penulis:
Tyas Amara R adalah Bendahara Umum LAPMI HMI Cabang Metro Masa Juang 2018/2019. Belajar menulis sejak sadar. Sebab yang terus bermimpi kebanyakan hanya membisikan fantasi di telinga banyak orang.
Tentang Penulis:
Tyas Amara R adalah Bendahara Umum LAPMI HMI Cabang Metro Masa Juang 2018/2019. Belajar menulis sejak sadar. Sebab yang terus bermimpi kebanyakan hanya membisikan fantasi di telinga banyak orang.
Tags:
Opini