Karya: Agung Wiratama
Berawal dari kegelisahan sang buah hati, Singgit seorang anak yang terlahir dari keluarga fakir, ini tentang pertanyaannya kecil ketika dia baru saja duduk dibangku sekolah dasar.
Sebuah kewajaran jika pertanyaan macam ini terlontar dari seorang anak kecil yang baru saja belajar sebuah anatomi di ruang kelas.
Seusai kelas dan waktu sudah menunjukan jam pulang seperti biasa dengan baju yang lusuh, sudah menguning dan getas belum lagi celana seragam yang nampak kelonggaran jika dikenakan pada pinggul kecilnya, karena tak bisa membeli kendit ia harus menggunakan tali rapiah untuk mengikat celana agar tidak melorot kebawah dan ditertawai orang-orang, ini semua buah hasil pemberian dari saudaranya.
Bermodalkan plastik merah berukuran jumbo, belum lagi sepasang sepatu yang mengguntai di leher dengan keadaan saling terikat, yah menjaga agar tetap awet maksudnya.
Ia berjalan pulang terhuyung-huyung dibawah terik mentari yang menyengat diatas kepala, belum pula jarak yang harus ia tempuh cukup jauh untuk sampai kerumah.
Tak heran sesampai dirumah ia menenggak sebotol penuh air minum karena dahaga yang berkepanjangan.
"Bunda" suara kecil itu memanggil.
"Iya nak,bunda didapur" sahut sang bunda.
"Bunda,bagian tubuh mana yang paling penting?" tanya Singgit dengan dahi mengernyit dan wajah memanja, yah memang Singgit sangat manja dengan bundanya iya merasa bunda adalah separuh hidupnya setelah sang ayah meninggal dunia akibat penyakit gagal ginjal yang dideritanya.
"Hmm.... coba kau bayangkan saja jika salah satu bagian tubuh itu hilang kau akan merasa sangat tidak berguna" jawabnya, singgit tak menemukan jawaban yang ia harapkan.
"Mungkin otak yah bun" jawabnya sembari tersenyum tipis.
"Nak, ada banyak orang pintar dan kaya tapi tak pula menggunakan akalnya untuk membantu orang seperti kita" tuturnya dengan lembut dan memastikan.
Beberapa tahun kemudian aku terus mencoba memikirkan, geramku mungkin tanpa bibir kita tidak bisa berkomunikasi dan bersosial.
Aku coba menemui bunda dan membahas kembali pertanyaan itu,
"Bun bibir adalah bagian tubuh terpenting, bagaimana tanpa bibir kita berkomunikasi?" dengan nada yakin aku menyoalnya kembali
"Putraku, seiring berjalannya waktu tahun ke-tahun kau makin pandai, ketahuilah begitu banyak orang yang pandai bicara dan tahu kebenaran tetapi memilih bungkam" tuturnya dengan nada lembut dan berakhir dengan senyum kecil.
Lekas waktu beranjak kian menggebu, tak terasa aku sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Setiap hari aku membantu bunda berdagang membawakan kue dan gorengan yang ia buat, separuh diberikan kepadaku untuk kujual di sekolah, separuh yang dia jual berkeliling kampung.
Tentang jawaban bagian tubuh yang paling penting tadi tidak terpikirkan kembali dibenakku, jadi aku pikir kami tidak akan membahas kembali.
Suatu malam aku melihat bunda menangis lirih di dekat perapian pawon, aku bertanya-tanya apa yang terjadi dengan bunda? dosa apa yang sudah kulakukan pada bunda?
Kuhampiri dia dengan perlahan melangkah "Bunda? Kenapa bunda menangis? Apa aku melakukan kesalahan?" tanyaku lirih dengan sambaran kesedihan yang menerka tampak diwajah bunda.
"Tidak nak, bunda tidak apa-apa. Oh ya kamu masih ingat soal bagian tubuh itu? jadi apa kau sudah menemukan jawabannya?" Ia bertanya dengan menahan lara, serta secepat mungkin menghapus air mata yang terurai.
"Ntah lah bun, aku pikir aku benar-benar belum menyadarinya, menurutku semua organ kita itu penting" tuturku.
"Benar, makin pintar putra bunda. Tapi anakku, ini penting untuk kau ingat dan kau jadi kan sebuah pegangan hidup untuk membuktikan bahwa kau benar-benar manusia yang hidup. Beberapa kali jawaban yang kau lontarkan ke bunda selalu bunda jawab salah dan bunda beri alasan, malam ini bunda akan beritahu bagian tubuh manusia yang paling penting" dengan wajah yang meyakinkan dan sendu aku benar-benar membeku diperapian dapur.
"Sayangku, bagian tubuh manusia yang paling penting adalah bahu" tutur bunda
"Apa karena bahu tempat yang bisa menopang kepala?" tanyaku
"Iya, bahu mu harus kau gunakan untuk menopang banyak kepala, saudaramu atau temanmu ketika mereka menangis. Bunda bepikir semua orang perlu bahu untuk menangis, karena nestapa hidup yang kian rumit. Bunda hanya ingin kau selalu punya bahu untuk saudara dan temanmu ketika mereka menangis, berbagilah kasih sayang dan jadi lah pelipur lara mereka" kupeluk bunda setelah mendengar jawaban itu.
Setelah aku beranjak dewasa sudah mampu menopang ekonomi keluarga, masih terngiang jawaban bunda.
Kusadari satu hal bahwa tidak boleh hanya mementingkan diri sendiri, tetapi empati dan simpati terhadap penderitaan orang lain adalah hal yang paling penting untuk membuktikan bahwa kita adalah manusia yang manusia.
______
Tentang Penulis:
Agung Wiratama merupakan Direktur Bagian Pelatihan dan Pendidikan LAPMI - HMI Cabang Metro masa juang 2018/2019.
Tentang Penulis:
Agung Wiratama merupakan Direktur Bagian Pelatihan dan Pendidikan LAPMI - HMI Cabang Metro masa juang 2018/2019.
Tags:
Cerpen