Setelah Kita Saling Berdekatan Yang Jauh Hanyalah Prasangka

-- Karya: Adi Herlambang Saputra

[pict: mulpix.com]


“Derr, kamu yakin? Itukan perempuan yang dibilang Yoga nakal. Aku nggak setuju!” tandasnya.

Perkataan yang seolah-olah mengangggap dirinya paling suci itu menohok ke hatiku. Aku tidak tahu pasti, apa karena Aku memiliki rasa pada perempuan yang di anggap oleh Lisa perempuan nakal -- tapi apa mungkin dengan beberapa detik melihat saja, perasaan seperti itu sudah ada, rasanya pelik. Mendengar perkataan Lisa yang ketus itu, Aku memasang antipati padanya. Padahal, dia adalah sahabat yang sudah Aku anggap seperti keluarga dan selalu Aku dengarkan omongannya.

Gersang siang itu menuntut  Aku dan Lisa untuk segera mencari kedai yang menjual minuman segar. Oh iya, kami bersahabat sudah sangat lama, tidak sedikit orang yang bilang kami pacaran -- banyak juga yang menyarankan kami untuk segera jadian. Tapi selalu, Aku dan Lisa hanya memberikan reaksi senyum kecil dan diakhiri tertawa bahak kepada mereka. Terlepas memang diantara kami ada perasaan atau tidak. Tapi sedari dulu, kami selalu berkomitmen, yang paling indah dari sebuah hubungan yang bernama pacaran adalah persahabatan itu sendiri.

Sesampai di kedai. Seperti biasa, Aku selalu memperhatikan terlebih dahulu seluruh isi ruangan. Tapi sepertinya, ada yang berbeda dari hari ini. Di sudut ruangan sebelah barat, suara yang cukup keras dari perempuan yang wajahnya ditimpah oleh sedikit pupur, halus dan kemerah-merahan, bersolek sangat cantik, seketika membuat perhatianku terfokus pada dia. Tidak sebentar aku termangu memandanginya, sampai Aku tak menggubriskan omongan Lisa.

“Kau mau pesan minum apa, Derr?”

“Derra, kamu mau pesan minum apa, katanya tadi haus?”

Aku tak menggubriskannya, kecantikan perempuan yang berada di kejauhan tadi membuat Aku lupa, untuk apa Aku datang kemari – bahkan, tenggorokan yang menuntut raga ini untuk segera menemui minuman segarpun terlupakan. Seolah semuanya sudah kembali dalam keadaan yang paling segar.

“Heyyy, kamu ini lihatin apa sih?” ujar Lisa sembari tangannya menolehkan arah pandanganku.

“Hmm... iya, gimana,Sa?” dengan air muka yang terlihat bingung, diriku menjawab.

“Kamu ini liatin apa? Aku bertanya beberapa kali, Kamu mau pesan minuman apa kok malah bengong sih.”

“Aku pesan jus alpukat saja, Sa.”

“Kamu ini liatin apa?”

“Sudah, pesan dulu itu minum, nanti aku beritahu.”

“Iya - iyaa.” 

Setelah Lisa memesan minuman. Dengan membawa secercah rasa bahagia dan detak jantung yang berdetak sedikit kencang dari biasanya, Aku memulai obrolan.

“Sa, kamu lihat perempuan yang ada di sudut ruangan sebelah barat itu?”

“Iya, kenapa, Kamu naksir?”

“Sepertinya iya, Sa. Gimana menurutmu?”

“Hmm... cantik kelihatannya. Tapi ingat, kalo mau cari pacar, nggak boleh lebih cantik dari Aku.. haha...” Teregelan.

“Kamu ini, nggak berubah dari dulu, selalu kalimat itu yang keluar setiap Aku naksir pada perempuan, haha...”

Sambil tersenyum, Lisa melanjutkan perbincangannya. “Cantik kok. Ehhhh.. tunggu sebentar” Lisa mulai menilik perempuan itu.

“Derr, kamu yakin? Itukan perempuan yang dibilang Yoga nakal. Aku nggak setuju!” tandasnya”

“Kamu percaya omongan Yoga?” Biasanya Aku selalu berkata “iya” pada setiap perkataan yang Lisa ucapkan, tapi kali ini ntah mengapa, aku meragukannya.

“Iya Aku tidak percaya begitu saja, Derr. Tapi, ada baiknya jika ingin mendekati dia, kamu harus caritahu dulu sedikit banyaknya tentang dia.”

“Iya, Sa, itu pasti. Yaudah, seperti biasa, Aku minta tolong kamu untuk minta nomer WhatsApp’nya, hehe...”

“Dasar kebiasaan.” Sambil berdiri dan menghampiri perempuan yang Aku taksir.

Tak lama kemudian, Lisa membawa tisue dengan nomer WhatsApp di permukaannya.

“Nihhh” Menyodorkan tisue dan wajah sedikit jutek. Menurutku, selain karena malu, dia merasa selalu di korbankan ketika Aku naksir sama perempuan untuk minta nomer WhatsAppnya.

“Kamu bilang kan, kalo Aku yang minta nomer WhatsAppnya?”

“Iya pengecuttt..” ketusnya.

Minuman yang dipesan pun tiba. Karena nomer WhatsApp perempuan tadi sudah di dapat – perasaanpun sedikit agak tenang. Kali ini kami membahas tentang novel “Bumi Manusia” karena kebetulan, Aku dan Lisa senang membaca. Kebiasaan yang di lakukan ketika bertemu, membahas buku atau novel yang sudah kami sepakati untuk segera di baca sebelumnya. Sampai akhirnya senjapun tiba, Aku dan Lisa segera beranjak untuk pulang dan membawa sedikit rasa senang.

***

Ba’da magrib, selepas menjalankan kewajiban Aku sebagai seorang muslim. Aku mulai terpikir kembali pada perempuan yang ada di kedai. Dengan membawa seluruh keberanian akhirnya aku mulai chatting dia. Ya, seperti umumnya perempuan, membalas chatting orang yang tak di kenal pasti selalu dengan singkat. Aku sangat menghargai, mereka mungkin sedang menjaga harga dirinya – atau boleh jadi, sedang mengukur perjuangan laki-laki yang ingin merebut hatinya.

Tiga bulan sudah Aku komunikasi melalui chatting dan telfon dengan perempuan yang dibilang Yoga “Perempuan Nakal”. Seiring dialektika, Aku semakin kepikiran. Karena mungkin saja renjana sudah tumbuh menjadi lebih besar dari sebelumnya. Bahkan sampai saat inipun, belum ada perkataan yang mengindikasikan bahwa dia perempuan yang nakal, memang jutek, tatapi selalu sopan dan nyaman di dengar. Sialnya dilema itu selalu hadir, bahkan beberapa kali Aku sempat bertengkar kecil karena pikiranku selalu mengarah kesana.

Di sela-sela kedekatan Aku dengan perempuan yang bertemu di kedai itu. Aku mendengar kabar dari Ibu, bahwa bendu kecilku yang mencari Ilmu di negeri tetanggapun pulang, mungkin dengan membawa banyak ilmu atau mungkin sekarang dia lupa akan dirinya sendiri. Yang jelas, dengan semangat Aku tak sabar untuk bersua. Kami bersua dirumahku, duduk di sice tepat di beranda rumah. Aku senang mendengarkan cerita dan pengalamannya, bohong atau tidak, yang jelas, teman kecilku dulu, saat ini menjelma menjadi seorang pendongeng yang ulung.

Sampai pada akhirnya giliranku cerita. Aku langsung menceritakan saja soal perempuan yang bertemu Aku di kedai tiga bulan lalu.

“Ngga, Aku bingung."

“Bingung kenapa, Derr?”

Aku ceritakan runtutan cerita tentang perempuan yang bertemu di kedai itu pada Angga. Lalu Angga menanggapi seperti berikut:

“Derr, kamu tahu soal cinta yang tulus, cinta tanpa pamrih?” “Maksudmu bagaimana?”

“Ya, cinta yang tulus adalah cinta tanpa pamrih. Ketika kamu cinta pada seseorang tetapi kamu masih memiliki tuntutan kepadanya, berarti cintamu tidak tulus, termasuk tuntutan untuk memilikinya. Memang ini di anggap bullshit, tetapi beginilah pada faktanya. Sekarang Aku mau tanya, apa kamu tulus mencintai perempuan itu?”

“Sepertinya belum, karena Aku selalu mempermasalahkan soal omongan orang terhadapnya yang selalu menganggap dirinya perempuan nakal. Tapi, dia sudah membawa kenyamanan buat aku, Ngga.” 

“Kalau begitu. Begini saja, sekarang bukan soal mempermasalahkan dirinya baik atau tidak. Tetapi, sampai mana komitmenmu untuk membawa dirinya dalam kebaikan. Toh, yang orang-orang yang mengatakan dirinya nakal juga belum tentu baik,kan?”

“Hmm... Aku setuju, Ngga. Baiklah kalo gitu, terimakasih ya, Ngga, kamu emang selalu mengerti kondisi Aku sedari dulu. Tidak salah-salah kamu sekolah di negeri orang, kalo solusi berilian selalu kamu dapatkan dalam sebuah permasalahan. Hehe.

“Haha dasar lebay... yaudah, selesai kan dilema yang selalu membuat kamu sulit tidur itu.” Olokan disertai tepukan pada bahu Derra.

“Iya – iya, Ngga. Ternyata setelah mendapatkan solusi dari kamu, Aku menyadari bahwa setelah Aku dan Dia berdekatan, yang jauh hanyalah prasangka. Haha.” Tergelak tawa.

Dengan membawa sedikit rasa tenang dan lega, Aku dan Angga melanjutkan pembicaraan yang entah kapan akan berakhir.

--Selesai--

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama