--Karya: Ruang Kosong
[pict: imgrum.com] |
Senja telah pulang, waktu menunjukkan tanda menjelang pergantian hari. Di sela waktu menjelang tidur, seketika Dee berfikir tentang sisi lain manusia yang terisolasi, suatu hal samar dalam diri seseorang yang mampu terkuak hanya dengan pelbagai tanda-tanda serta perantara. Bisa berupa hasrat dan tabiat yang terlukis pada wajah dan segala macam bentuk tindak. Kenyataannya benar-benar sulit mendikte itu semua. Atau memang hanya keliaran perasaan skeptis yang telah senyawa dengan darah seorang pecundang yang belum mampu tawaduk dengan kekalahannya.
Malam semakin larut, namun tak juga mampu menjinakan kepala Dee, mata dan hati pun seolah terganggu dan enggan berdamai. Padahal raga ini sudah lelah dan butuh istirahat.
Ayolahh... Ini hanya firasat saja, pikir Dee mulai menghibur.
Tak ada rahasia pada yang terang, seperti orang yang pernah melakukan kesalahan menyimpan rahasia kebaikan dalam hatinya. Secara naluri, manusia tidak akan pernah betul-betul mampu menerima sebuah kesalahan tanpa proses pengayaan terlebih dulu sebelum pada akhirnya masuk pada sebuah pilihan untuk memaafkan dengan penuh pemakluman pada dirinya.
Ada tiga kemungkinan yang terjadi ketika seseorang mampu memetik sebuah pilihan. Ketika mencoba memawas diri, ia akan menjadi seseorang yang amat bijaksana, ibarat pohon, ia-lah yang menjadi akarnya -- walaupun daun jatuh berguguran, bunganya tak lagi harum dan melayu, batang dan ranting sudah mulai rapuh terhempas angin lalu jatuh, namun akar tetaplah kokoh. Pada akhir hayat, ketika tanggung jawabnya berakhir sebagai penyerap inti sari kehidupan di tanah yang kotor, ia berevolusi menjadi fossil. Manusia memakai fossil sebagai media untuk membangun pondasi rumah yang menjadi tempat anak dan istrinya berteduh. Ialah akar sebagai material yang menjadikan sebuah rumah menjadi tangguh terhadap segala bencana yang mengancam, rumahlah satu-satunya tempat yang paling nyaman walau kadang tak benar-benar aman. Bak emas, walau ia jatuh pada lubang kotoran sekalipun, emas tetaplah emas ... ia tetap memiliki nilai yang tak bisa ditawar. Karena secara prinsip, sesuatu yang berharga bukanlah ia yang memeliki harga selangit, melainkan adanya sebuah nilai tawar yang tinggi.
“Lagi pula aku hanya memikirkan perasaanku sendiri, masa bodo dengan orang lain. Sesungguhnya hidup itu fana, kenapa harus takut dengan kebersamaan semu. Tak ada hal lain yang lebih berharga selain kesenangan atas segala keinginanku yang harus tercapai. Punggungmu hanyalah sebatas tungganganku dalam mencapai segala inginku, dan seekor keledai tak patut menuntut majikan. Hanya aku seorang yang pantas dalam menentukan kapan harus memberi segala pengharapanmu, tak ada hal yang lebih mulia tanpa kehendakku untuk menjadikanmu sesuatu yang bernilai” kata Suu tersampaikan lewat angin yang masuk melalaui jendela kamar Dee.
Pernyataan yang sangat berani. Padahal Suu tahu tentang kebenaran yang sebelumnya telah Suu ketahui. Bahwa setiap mahluk bernyawa yang digariskan untuk hidup telah menyandang tanggung jawab serta tugas fungsinya masing-masing. Terlepas sampah sekalipun, ia tetap memiliki nilai manfaat sebagai penghasil sari kehidupan yang mampu memupuk tumbuhan di sekitarnya. Ia tetap memiliki tugas dan hak untuk hidup dan melakukan apa-apa yang telah menjadi kodratnya. Di luar dari perannya yang tidak penting sekalipun, sesama mahluk hidup tetap membutuhkan mahluk lainnya untuk menunjukan manfaat eksistensinya sebagai mahluk.
“Kuharap Tuhan tidak menciptakan dirimu sebagai mahluk yang bertugas untuk sekedar menguji kesabaran manusia, Suu.” Kata yang perlahan dengan nada menusuk, Dee berkata dengan penuh percaya diri.
Sia-sia menasihati seseorang untuk membersihkan kepalanya yang terguyur cairan api. Tak urung kepala ia akan menjadi keras seperti batu, dan sekujur wajahnya berubah menjadi kemerahan. Ketika dibantu ia akan berontak kepanasan, dan ketika dipaksa membersihkan ia menjadi seperti orang jenius yang kehilangan akal. Sulit, setiap manusia selalu ingin semua orang melakukan kebenaran sesuai kadar ideal menurut keimanan kita. Tapi di sisi lain kita lupa, bahwa seseorang melakukan sesuatu atas dasar apa yang mereka inginkan, bukan atas dasar baik dan buruk keyakinan mereka. Pada dasarnya manusia tak menghiraukan tentang hari pembalasan yang mereka yakini tidak jelas adanya. Yang mereka yakini hanyalah masing-masing manusia harus memuaskan dahaganya sebelum pada akhirnya mereka berakhir, itulah hal yang tersurat dari esensi pencapaian tertinggi selama hidup, mati dengan keadaan cukup.
Pilihan kedua, jika seseorang menghadirkan sisi hitamnya, ia akan menjadi iblis. Seseorang bisa saja murka terhadap sesama atas segala kegagalan yang didapatinya. Ia mampu meluapkan api dalam perut gunung dan memuntahkannya tepat pada dinding yang menjadi penghalang baginya. Sungguh mengerikan, seseorang awalnya yang memiliki hati tulus selembut kapas, tiba-tiba api menyambar, menyulut, dan membakar sekujur tubuhnya dengan amarah. Selebihnya, keputus asa’an dan ketida warasanlah yang berjalan secara beriringan membopong dirinya membawa ke dalam kehidupannya.
Manusia hanya menerima apa yang telah dituliskan sebagai miliknya, dan ia harus berterima kasih karenanya, Dee mulai bicara sendiri. ia mengira sudah gila karena rasa kepedulian yang telah dilakoninya berujung nestapa. Berkali-kali harus jatuh bangun menghadapi gejolak hati yang kunjung tak sudah.
“Fitnah caci maki adalah pakaian sehari-hari bagi saya. Makanya harus saya pakai agar tetap berbusana,” Lanjut perkataan Dee dengan mantap yang menggambarkan keyakinannya bahwa perjuangan belum selesai.
Pilihan terakhir, jika seseorang berusaha tidak peduli dalam hal apapun disekitarnya, tetapi sebelumnya dia telah mengetahui jalan kebaikan, seketika itu juga orang tersebut akan hilang dari pandangan sesama pada dirinya sebagai manusia yang utuh. Dalam titik inilah manusia dianggap sebagai orang yang hidup tapi sebenarnya sudah mati. Karena dalam pandangan orang lain terhadap dirinya, hidup ataupun mati mereka akan tetap bersikukuh menganggap bahwa dirinya tidaklah penting, dalam kata lain ada dan tiada dirinya tidak memberikan manfaat. Gelar pemberian tuhan yang disandangkan kepadanya sebagai mahluk yang diciptakan memiliki kemuliaan tertinggi seolah tak mampu lagi untuk menutupi wajahnya. Ibarat serpihan di laut samudera, ia akan tenggelam hilang tak berbekas.
Dee berharap tidak ada kesalahan pada tiap langkah yang ditapakinya, ia selalu belajar dalam setiap masalah yang ada. Namun kebenaran adalah kebenaran, ia berbeda dan tak berdiri sejajar dengan kebatilan. Mungkin masih ada upaya untuk merubah cara untuk mengutarakan kepeduliannya. Sampai pada puncak pasrahnya ia telah menjadi setengah manusia, di mana ia telah membunuh dirinya sendiri atas dasar kesadaran bahwa – setiap orang butuh waktu untuk menjadi dirinya.
--selesai--
Tags:
Cerpen