Restorasi Pengkaderan HMI

Penulis: Iqbal Baikhaqi, Formateur LAPMI Metro.

[pict: dakwatuna.com]

Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) saat ini sudah sangat jauh keluar dari jalur rel untuk mengarah tujuan awal didirikannya HmI. Seperti yang tercantum di AD/ART pasal 4, mempunyai makna mendalam yang digagas oleh pelopor terdahulu. Seharusnya bagi kader HmI sudah sangat jelas bagaimana mengambil sikap dan berproses untuk mewujudkan tujuan HmI.

Namun, kader HmI saat ini sangat jauh dari ekspektasi. Background yang sudah sangat lebar dan hangat membentang dalam jajaran sejarah, sehingga banyak kader menyalah gunakan untuk selimut yang membuat oknum itu terlelap dalam dunia hedonis dan transaksional. Lebih lagi dimanjakannya dalam hegemoni.

Paradigma yang keliru seakan sudah menjadi kultur, bahkan sudah terstuktur di dalam HmI. Beberapa kader bergerak bukan karena ingin membesarkan diri dan organisasi melainkan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Kader tidak lagi berjalan dengan intlektual, melainkan “proposal”. Maka, tidak heran banyak sekali kader menjual nama organisasi kesana kesini. Itu sama saja “Mengkapitalisasi Organisasi”.

Kenikmatan sesat itulah  yang paling instan dan cepat, tetapi bersifat sesaat. Kader seharusnya tau bahwa pentingnya suatu proses di organisasi karena untuk perkembangan diri sendiri.

Mereka harus menyadari adanya hukum alam, seperti yang dikatakan Kanda Arief (Ketum PB HmI 2013-2015), “Jika engkau membesarkan organisasi maka ia akan membesarkanmu, kalau engkau berbuat dzalim di organisasi maka ia akan menghancurkanmu sehancur-hancurnya.”

Kejumudan Intlektual

Nurcholis Madjid (Cak Nur) salah satu tokoh yang disegani di dalam HmI. Pernyataan itu tidak dapat dibantah, khususnya dalam intlektualisme tidak diragukan lagi. Perumus  yang selalu di kenal oleh semua kader dan khas di HmI dalam kajian bernafskan Islam yaitu Nilai Dasar Perjuangan (NDP) menjadi kajian penting bagi semua kader. Bahkan seringkali adanya kegiatan kelas-kelas atau sekolah-sekolah diadakan khusus untuk mengkaji dan memahami NDP.

Perumusan yang kolektif dan sistematis, ternyata membawa sisi negatif bagi kader HMI. Pengurangan imajinasi dan kemaujudan berfikir yang selalu terkiblat pada NDP, sehingga laksana Cak Nur menjadi Tuhan di HmI. Sederhaanya NDP bukanlah kitab suci dan bukan kumpulan hadits, melainkan perumusan mengenai Islam menurut penilaian subjektifitas Cak Nur.

Maka, tidak dapat dipungkiri bahwa NDP masih belum dikatakan sempurna. Tetapi banyak  mengalami fobia dalam berfikir karena sudah terpenjarakan olehnya. Sudah saatnya kader HmI mulai membebaskan dari terkungkungnya berfikir, untuk dapat melampaui yang sudah ada dan melahirkan banyak karya. Berbicara seperti ini bukan berarti mengurangi rasa hormat kepada Cak Nur, melainkan kader HMI dapat merefleksikan dan mempertanyakan intlektualnya.

Restorasi Pengkaderan


Pengkaderan dalam organisasi sangatlah penting, bisa dikatakan menjadi jantung dalam organisasi. Berbicara pengkaderan tingkatan di HmI adalah di Komisariat, dimana tunas-tunas baru tumbuh dan berkembang di dalamnya. Komisariat adalah tempat untuk beraktualisasi bagi kader, sebelum ke jenjang cabangnya masing-masing.

Pada proses inilah yang harus sangat di perhatikan, supaya dapat membentuk suatu intlektual yang ideal dan berpotensial. Namun, tidak dipungkiri bahwa dalam jenjang ini pun sudah mengalami cacat yang hampir permanen dalam HmI. Pasalnya, dalam pemilihan ketua umum saja sudah diajarkanya politik yang sangat pragmatis. Banyak beranggapan, bahwa menjadi ketua umum jajaran komisariat akan mengawali dalam treck recordnya di HmI, yang dapat menjual kepada alumni.

Banyaknya berasusmsi salah mengenai komisariat, seharusnya kader harus mengerti dan paham tanggung jawabnya di komisariat meskipun bukan pengurus pun. Sudah saatnya kader merekontruksi pengkaderan dalam terwujudnya tujuan HmI itu sendiri. Dengan demikian, HmI tidak mengalami krisis intlektual seperti sekarang ini.

Para alumni yang menjadi pemimpin-pemimpin besar juga tidak luput dari prosesnya di komisariat dulu kala. Sehingga kata untuk penutup dari si penulis, “Pemimpin-pemimpin besar lahir dari orang orang yang mau berproses dalam komisariat”. Tabik!



1 Komentar

  1. Mantap, semoga makin berkembang dan menjadi bahan refleksi untuk para pembaca khususnya kader HMI. Ditunggu tulisan" yang lebih kritis lagi agar menggugah paradigma pembaca yang hanya stigmasi oleh kultural yang tidak begitu bermanfaat.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama