Rukun. Harapan yang diakui atau tidak, hidup dalam nurani setiap manusia: andai kata punya nurani. Tapi, mungkinkah suasana guyup mampu terbangun?
Dalam novel A Song of Ice and Fire, karya George R. R. Martin menyoal tentang itu. Dunia yang diciptakan pengarang tersebut seakan menggambarkan kondisi Indonesia hari ini: maraknya adu siasat; masyarakat dibangun atas pendapat-pendapat; dan dipaksa lahir dari klaim-klaim hak kelompok untuk kuasa atas satu sama lain.
Kondisi carut-marut yang sengaja dirawat itu mustahilah mampu menciptakan kondisi masyarakat yang guyup. Lebih lagi, takhta yang dipegang klan Baratheon, dalam novel tersebut, kini bergulir ke klan Lannister, akibat Robert Baratheon dibunuh atas perintah istrinya. Lalu takhta itu dipegang Joffrey, anak Robert, yang pada kenyataannya merupakan anak haram hasil perselingkuhan sang ratu dengan saudara kembarnya.
Begitu kejamnya siasat. Dan, tanpa mampu dipungkiri, kenyataan tersebut tidak beda dengan masyarakat Indonesia. Masyarakat dipaksa lahir serta hidup sebagai penganut pola pikir, yang sengaja digiring 'tuk membentuk kekuatan baru. Rakyat kini diciptakan oleh penguasa-penguasa, yang diharapkan tunggal nantinya. Henry J. Schmandt, dalam Filsafat Politik, menyinggung bahwa tugas mengatur rakyat akan lebih mudah jika warga bisa menerima ideologi penguasa.
Tak mampu dipungkiri. Sejarah pun mencatatnya. Kenyataan menampilkan wajahnya. Pemberian hak istimewa kepada kelompok penguasa terjadi. Baik di Indonesia, yang mana negara dibangun dari sokongan kepentingan partai politik, pun dalam dunia fantasinya George Martin.
Guyub dalam berkehidupan hanyalah mimpi belaka. Sampai pada suatu ketika, dalam novel itu pun, Jon Snow seorang Garda Malam berujar dalam hati: bahkan mimpi tak bisa hidup di atas sini.
Keputus asaan tidak hanya hidup di sebuah novel. Di Indonesia pun, mimpi hidup dalam guyub adalah mustahil. Hidup guyub takkan terjadi. Sebab di Negeri Bertanah Surga ini banyak manusia yang mendamba surga. Banyak perebutan kepentingan. Banyak yang akan ditumbangkan. Sampai suatu saat wajah-wajah kematian adalah hal yang dimaknai paling asasi 'tuk lawan politik.
Penulis: Afriyan Arya Saputra
Tags:
Opini