Kita selalu bersandar di bahu satu sama
lain. Lalu dengan apa kuharus membalas
air matamu yang menyentuh pipiku?
Dan gelap pun tiba.
Kita dengar rengek seorang bocah,
suara jangkrik. Detak jantungmu juga. Tapi bukan nurani masing-masing.
Dan angin berhembus di antara gelap.
Kurapatkan dekapan. Dan kaumencari hangat
di secangkir poci
sebelum gigil dari sebuah musim
membekukan sikap yang lain.
Dan pembicaraan tak pernah benar-
benar tercipta.
Kemarahan yang lupa dibahasakan
saat air mataku tumpah
di linang air matamu.
di sore itu
di kesempatan hidup yang tak kunjung cukup
menyatukan kau dan aku.
Metro, Oktober 2018.
Penulis : Afriyan Arya Saputra
Tags:
Puisi